08 Nov

DESIGNER INDONESIA YANG MENGGUNAKAN TEKNIK SASHIKO DALAM UPCYCLING FASHION

Sashiko adalah seni kerajinan yang muncul pada saat kapas tengah menjadi komoditi berharga di Jepang. Pada masa ini, karena bernilai cukup tinggi, orang tidak dapat membeli begitu saja kain katun atau menyingkirkan pakaian mereka karena belum tentu sanggup membelinya kembali. Untuk mengakalinya, mereka pun menggabungkan kain katun dengan bahan kain lainnya yang lebih terjangkau, agar pakaian mereka lebih tebal dan dapat digunakan juga pada musim dingin.

Teknik jahit yang digunakan untuk menggabungkan kedua jenis kain tersebut kemudian dikenal dengan nama Sashiko. Teknik jahit Sashiko sebenarnya adalah teknik menjahit sulam jelujur, yang akhirnya pada perkembangannya diatur untuk membentuk sebuah pola tertentu. Sebuah kain yang dihias Sashiko akan memiliki ciri khas berupa aksen dekoratif benang yang dijahit jelujur kecil-kecil, yang memenuhi seluruh atau sebagian permukaan kain. 

 

Selain berfungsi untuk menggabungkan dua jenis bahan kain, pada mulanya, Sashiko pun diaplikasikan dengan tujuan untuk memberi kekuatan lebih pada kain agar tidak mudah robek dan mampu bertahan lama. Namun seiring berjalannya waktu, aplikasi teknik jahit Sashiko pun telah bergeser penggunaannya menjadi lebih berat pada fungsi estetik dan pemanis tampilan.

 

Dalam upaya upcycling fashion dimana kita menggunakan kembali limbah yang ada secara kreatif hingga menghasilkan nilai tambah dan nilai jual. Dan kini sudah bermunculan penggiat mode yang menggarap teknik Sashiko ini, diantaranya adalah:

 

  1. Anastasia Winanti dengan merek dagang Empathy

Anastasia Winanti menggunakan teknik Sashiko untuk memanfaatkan pakaian-pakaian yang tidak laku. Dalam upaya mengurangi limbah fashion, Anastasia membeli pakaian deadstock atau pakaian yang tidak terjual dari online shop. Lalu barang yang susah dijual itu kemudian di upcycling sehingga menjadi satu koleksi busana yang ramah lingkungan.




  1. Wahyuningsih Wulandari dengan merek dagang Waiki Tekstil

Upaya berbeda untuk mengurangi limbah fashion juga dilakukan oleh Wahyuningsih Wulandari. Desainer asal Solo ini memanfaatkan limbah-limbah fashion menjadi hasil karya yang bisa digunakan seperti tas. Ide ini berawal dari keprihatinan Wulan melihat limbah konveksi kaos yang mencemari air sungai di sekitar rumahnya. Sehingga Wahyuningsih memiliki ide untuk buka workshop teknik rajut untuk warga sekitar

 

  1. Retno Suminaringtyas dengan merek dagang Srengenge Handmade

Retno telah lama menggunakan teknik Sashiko untuk memanfaatkan pakaian bekas menjadi pakaian baru dengan nilai yang berbeda. Ia terbiasa menyimpan berbagai jenis kain yang tidak lagi terpakai, kemudian akan memisahkan sesuai dengan jenisnya. Salah satunya adalah kain katun berkualitas yang ia kumpulkan bertahun-tahun dari anggota keluarganya sendiri. Setelah terkumpul dan cukup untuk membuat sebuah pakaian, Retno akan menjahitnya dengan teknik Sashiko.

 

Nah, ternyata sudah banyak juga beberapa designer dan brand owner yang mulai aware tentang limbah dan upcycling fashion, bukan? Semoga dapat menginspirasi TemanKJM semua ya!

 

Diharapkan dengan munculnya pelaku usaha fashion yang menerapkan upcycle fashion dapat terus berlangsung secara konsisten untuk mendukung sustainable fashion. Dengan begitu akan lebih banyak lagi masyarakat yang tergerak dan tersadar untuk turut berkontribusi dalam mengurangi sampah fashion.

 

Yuk buat TemanKJM dan fashion enthusiast yang ingin belajar membuat atau mengembangkan bisnis brand fashion, bisa banget untuk ikut program fashionpreneur bersama Fashion Lab ID! 

 

Info lebih lanjut mengenai dunia fashion dan workshop fashion yang bisa teman-teman ikuti bisa dilihat di Instagram kami @fashion.lab.id, jangan lupa di follow ya!